Skip to main content

Dua Abad Ekonomi Indonesia

Dua Abad Ekonomi Indonesia

Dua abad evolusi perekonomian Indonesia dikaji dengan data-data dan cara pandang baru.


Dua Abad Ekonomi Indonesia
Judul: Ekonomi Indonesia 1800-2010: Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan | Penulis: Luiten van Zanden dan Daan Marks | Penerbit Buku Kompas | Terbit: November 2012 | Tebal: 512 halaman | Foto: sampul buku.

BERMULA dari kunjungan Luiten van Zanden dan Daan Marks ke Arsip Nasional Republik Indonesia, terbersit keinginan untuk menggali sebuah misteri di balik perkembangan ekonomi Indonesia: bagaimana bisa sebuah negara seperti Indonesia, dengan segala sumber daya manusia dan alamnya yang melimpah, mengalami arah pertumbuhan yang tak menentu dan timpang?
Mulailah mereka bekerja. Hasilnya sebuah karya yang, menurut Thee Kian Wie dalam pengantar buku ini, “merupakan sumbangan yang amat penting bagi khazanah kepustakaan tentang perkembangan ekonomi Indonesia selama dua abad terakhir.”
Indonesia saat ini adalah akibat dari proses sejarah sejak berlabuhnya kapal Kongsi Dagang Belanda (VOC) di Banten pada 1596. Setelah ekspansi teritorial menguat, VOC bukan saja berhasil memperoleh tanah dan tenaga kerja, tapi juga membangun berbagai institusi untuk memungut pajak, mempeluas budidaya kopi, dan memonopoli perdagangan impor. Keuntungan besar pun diraih. Namun, praktik penyimpangan dan korupsi juga tumbuh. Di sisi lain, VOC kian kesulitan bersaing dengan perusahaan-perusahaan dagang dari negara lainnya. Setelah duaratus tahun bercokol, VOC akhirnya bangkrut. Kerajaan Belanda mengambil-alih utangnya yang besar.
“Kegagalan VOC terletak pada sifatnya yang monopolistis, yang telah menghambat perdagangan dan perkembangan komersial di koloni, menganggu pertumbuhan ekonomi, dan menimbulkan beragam masalah finansial yang akhirnya membawa pada kejatuhannya,” tulis mereka.
Eksploitasi Tiada Henti
Seperempat pertama abad ke-19 merupakan babak baru, reformasi dan eksperimentasi, dalam menciptakan negara kolonial yang lebih modern. Upaya reformasi Jawa dengan cara liberal akhirnya gagal akibat meletusnya Perang Jawa. Biaya perang sangat besar, sementara harga komoditas kopi sedang turun. Situasi dalam negeri juga kurang kondusif karena elite pribumi sulit diajak bekerjasama.
Sebuah pendekatan baru pun mulai dicari. Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch memperkenalkan Sistem Tanam Paksa. Awalnya, sistem ini berjalan baik karena pemerintah mempertemukan kepentingan-kepentingan dari tiga kelompok elite (bisnis dan politik): negara kolonial/birokrasi, elite Jawa, dan pedagang Tionghoa. Namun, sepuluh tahun berikutnya, justru terjadi titik balik. Sekalipun ada keterbukaan ekonomi dan pertumbuhan ekspor yang pesat, terjadi kejatuhan dalam total faktor produktivitas, terutama di masa Tanam Paksa. Sebabnya, lembaga-lembaga bagi pertukaran pasar tidak berkembang baik, sementara institusi-institusi sosial-politik juga bermasalah.
Kritik kaum liberal memaksa penghapusan Sistem Tanam Paksa dan pemberlakuan liberalisasi ekonomi, yang ditandai dengan adanya UU Agraria pada 1870. Kebijakan berorientasi pasar mendorong perkembangan ekonomi selama 1870-1914 dan menjadi salah satu faktor di balik pertumbuhan per kapita output dan total faktor produktivitas. Perbaikan infrastruktur juga meningkat. Sebagian besar pertumbuhan didorong oleh eskpor. Namun, pengaruhnya terhadap pasar domestik –pada pendapatan riil penduduk Indonesia– terbatas dan tak menghasilkan proses kumulatif dari perubahan struktural, urbanisasi, dan industrialisasi yang merupakan inti dari pertumbuhan ekonomi modern.
Paruh pertama abad ke-20, dunia berada dalam bayang-bayang dua perang modern. Meski demikian, permintaan komoditas ekspor dari Hindia Belanda seperti minyak dan karet naik. Ini berdampak pada kenaikan anggaran Politik Etis antara lain untuk kesejahteraan, fasilitas umum, dan infrastruktur transportasi. Begitu Perang Dunia I berakhir, permintaan dari pasar internasional ikut turun. Gubernur Jenderal De Fock akhirnya memberlakukan pemangkasan anggaran. Bulan madu Politik Etis pun berakhir.
Hindia Belanda kemudian perlahan bangkit. Namun, terutama karena Depresi Ekonomi, nasib perekonomian Hindia Belanda jadi tak menentu. Diperparah oleh keterkaitan ekonomi dengan negeri induk, yang menyebabkan negara kolonial tak bisa melakukan kebebasan memilih kebijakan substitusi impor.
Di masa pendudukan Jepang, perkembangan ekonomi sangat buruk. Jutaan orang jadi romusha. Sejumlah infrastruktur penting rusak.
Dekade-dekade Transisi
Setelah kemerdekaan, Indonesia sibuk mengatasi suasana kegaduhan politik sepanjang 20 tahun, 1945-1965. Tahun-tahun ini, menurut penulis buku ini, merupakan dekade-dekade transisi bagi penciptaan negara-bangsa yang pada awalnya mengorbankan integrasi dan pembangunan ekonomi.
Salah satu yang punya rencana jelas adalah Kabinet Mohammad Natsir, yang ditunjang dengan kenaikan ekspor akibat Perang Korea. Pemerintah beritikad baik untuk memajukan wirausaha nasional atau pribumi melalui Program Benteng. Sayangnya, program ini kontraproduktif karena korupsi menjadi-jadi. Banyak lisensi dijual kepada pengusaha Tionghoa atau Belanda sementara pengusaha Indonesia hanya tampil setor muka. Selebihnya, perekonomian di masa Orde Lama menjadi tak terkendali.
Penggantinya, Soeharto, coba keluar dari krisis. Dia merangkul ekonom-ekonom lulusan Berkeley untuk merumuskan kebijakan dengan fokus stabilisasi dan rehabilitasi. Hasilnya, pertumbuhan pesat dicapai pada 1971-1980. Ia ditopang oleh utang luar negeri, hasil dari minyak dan gas alam, serta hubungan dekatnya dengan pengusaha Tionghoa-Indonesia. Dan Indonesia pun disebut-sebut sebagai bagian dari Keajaiban Asia Timur. Namun perkembangan ekonomi yang pesat itu dibarengi dengan korupsi yang masif, sistematik, dan endemik. Krisis politik, dibarengin krisis ekonomi di Asia, akhirnya menumbangkan kekuasaan Soeharto. Setelah beberapa kali pergantian kekuasaan melalui sistem demokratis, Indonesia mengalami kemajuan sekalipun lambat.
Melalui buku ini, Luiten van Zanden dan Daan Marks merentangkan perjalanan panjang ekonomi Indonesia secara kronologis dan analitis, dengan meng­gunakan banyak data baru.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Paragraf Simple Past Tense, Cerita Seru Masa Lalu

Sebelum lanjut, saya cerita sebentar pengalaman menulis artikel ini. Tulisan ini sudah tertunda beberapa minggu. Kenapa gitu? Selain belum ada ide yang berkelebat di kepala, seminggu lalu saya pulang kampung. Ah, namanya juga di kampung halaman, ya tentu banyak godaan yang bikin nggak fokus kerja. Biasalah, kumpul sama keluarga adalah prioritas utama setiap pulang kampuang (hashtag: edisi anak rantauan). Setelah abis masa liburan, saya buka laptop dan nemu artikel tentang contoh paragraf Simple Past Tense ini masih ajah nongkrong di folder draft. Mau nggak mau, akhirnya keluarin jurus pemungkas deh. Apa itu? ”Force yourself!” Yap, memaksa diri biar ngeluarin semua ide. Apapun yang terjadi, harus tetap memaksa diri untuk tetap berkarya bahkan kalau sampai  Zombie Apocalypse  (koq jadi nyambung ke  Walking Dead  sih). Intinya, pekerjaan nggak bakal selesai kalau cuma diliatin doang. Untuk itu saya mau lanjut bikin contoh paragraf Simple Past Tense. Ingat ya, ini hanya contoh cer

Taktik Fox Kuasai Indonesia

Taktik Fox Kuasai Indonesia Untuk kepentingan Republik, pemerintah memberikan monopoli dagang kepada seorang taipan film Amerika. PADA 1947, Perdana Menteri Sjahrir meminta Sumitro Djojohadikusumo berangkat ke Amerika Serikat untuk menyiapkan jalan agar sengketa Indonesia-Belanda masuk dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Sumitro tak punya paspor, apalagi uang. Dia menembus blokade Belanda menuju Singapura dan meyakinkan Konsulat AS di sana untuk memberikan visa. Dia juga mengatur penyelundupan kapuk dan kina untuk membiayai perjalanannya. Satu kapal Amerika yang berusaha mematahkan blokade disita Belanda. Satu kapal lainnya berhasil membawa muatan ke New York tapi para bankir tak mau membayar $80.000 atas pengiriman barang-barang itu. Padahal, setiba di New York, Sumitro tak punya kontak dan uang tunai –hanya $20 di kantong. Sumitro pun melibatkan firma hukum

Antara Perempuan dan Politik

Antara Perempuan dan Politik Supeni menolak pemisahan perempuan dari partai politik. Kritiknya tak asal bunyi, ia jadi tokoh penting dalam PNI. Supeni kala menemani Sukarno menyambut Putri Michiko dari Jepang. Sumber: Supeni Wanita Utusan Negara. PROKLAMASI mengubah konfigurasi politik. Ketiadaan musuh bersama membuat lelaki menjadi makin dominan dalam bidang politik sementara perempuan disingkirkan dan dianggap lebih layak bergerak di bidang sosial. Organisasi perempuan yang bercorak keagamaan, misalnya, kebanyakan berjalan dengan pembagian kerja model ini. Kecenderungan seperti itu dikritik para aktivis perempuan, salah satunya Supeni. Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menyebut Supeni menolak keras pemisahan perempuan dan partai politik. Menurutnya, perempuan harusnya dianggap setara dan disamakan statusnya dengan lelaki untuk ikut andil dalam urusan-urusan politik. Pendapat