Menanti RUU PKS DisahkanProses panjang RUU PKS. Bermula dari keresahan pada 2001, masih bergulir hingga kini.
KASUS
Agni dan Universitas Gadjah Mada yang berakhir “damai” juga kasus Baiq
Nuril yang berakhir pemenjaraan dengan jerat UU ITE menambah panjang
deretan kasus kekerasan seksual di tanah air. Mayoritas kasus itu
berakhir menyedihkan.
Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dalam laporannya
menyebutkan, pada 2018 ada 7.238 kasus kekerasan seksual terhadap
perempuan. Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan yang
dihimpun dari berbagai layanan aduan, menununjukkan jumlah kekerasan
seksual pada 2017 mencapai 384.446 laporan. Aduan dari para korban yang
langsung masuk ke Komnas Perempuan mencapai 1.301 laporan. Angka-angka
tersebut baru mencakup kekerasan seksual yang dilaporkan. Padahal,
keberanian korban untuk melaporkan kasus yang mereka alami masih rendah.
Minimnya
keberanian korban melaporkan kasus yang mereka alami disebabkan
terutama oleh masih kuatnya cara pandang bahwa perkosaan merupakan
serangan terhadap moral (asusila). Akibatnya, masyarakat malah meragukan
dan menyalahkan korban. Pertanyaan-pertanyaan seputar pakaian korban,
lokasi, dan waktu kejadian seringkali malah menyudutkan korban alih-alih
mengadvokasi. Padahal, kekerasan seksual, mertabat, dan harga diri
seseorang bukan semata urusan sopan santun.
Banyaknya kasus kekerasan seksual ini
membuat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)
penting untuk segera disahkan. “Hukum Indonesia hanya mengakomodasi
kasus perkosaan dengan bukti kekerasan fisik pada tubuh perempuan,” kata
Masruchah, komisioner Komnas Perempuan, pada Historia.
RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual dibuat degan perspektif keadilan untuk
korban dan akan mengatur 15 jenis tindak pidana kekerasan seksual.
Antara lain, kontrol, intimidasi, eksploitasi, penyiksaan seksual, dan
pemaksaan aborsi. RUU juga menjabarkan mengenai hak korban atas
perlindungan, penanganan, dan pemulihan.
Ide
tentang pentingnya payung hukum PKS bermula dari tingginya angka
kekerasan seksual sepanjang 2001-2011. Sepanjang dekade tersebut, 25
persen kasus kekersan terhadap perempuan adalah kekerasan seksual.
Setiap hari setidaknya 35 perempuan jadi korban kekerasan seksual.
Artinya, setiap jam ada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual
hingga Komnas Perempuan menyebut Indonesia darurat kekerasan seksual.
“Itu baru yang lapor. Banyak yang tidak lapor karena intimidasi oleh pelaku dan masyarakat,” kata Masruchah.
Pada 2012, Komnas Perempuan meneliti
jenis-jenis kekerasan seksual. Setahun setelah itu KP mulai mengusulkan
pembentukan payung hukum untuk menangani kasus kekerasan seksual. Tiga
tahun menunggu, Komnas Perempuan mendorong DPR untuk memasukkan RUU PKS
dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas).
Proses
pembahasan prolegnas dimulai pada awal 2015. Perwakilan dari Komnas
Perempuan kemudian menyerahkan naskah akademis untuk pertimbangan rapat
Badan Legislasi Nasional pada pertengahan 2016. Setahun kemudian,
Presiden Joko Widodo mengeluarkan perintah koordinasi berbagai
kementerian terkait RUU PKS.
“DPR
sendiri menunjuk Komisi VIII sebagai panitia kerja (panja) baru pada
awal 2018. Dan sejauh ini panja baru sampai Rapat Dengar Pendapat Umum,
semacam konsultasi dengan para pakar, termasuk ormas-ormas besar di
Indonesia,” kata Masruchah.
RUU PKS dapat menambal produk hukum yang
sudah ada, seperti KUHP yang hanya mencakup perkosaan dan pencabulan.
Ada juga UU No. 7 th. 1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap
perempuan.
UU
ini dikeluarkan sebagai tindak lanjut penandatanganan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On
The Elimination of All Forms Discrimination Against Women, CEDAW) pada
1981. Penandatanganan CEDAW bermula dari usaha feminis negara dunia
pertama yang berhasil memasukkan dekade perempuan (1975-1985) dalam
agenda PBB. Menyusul kemudian Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination of All Forms
Discrimination Against Women, CEDAW) keluar pada 1979.
Deklarasi
ini dibahas dalam Konferensi Dekade Perempuan PBB di Kopenhagen pada 29
Juli 1980. Indonesia sepakat untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha
internasional menghapus diskriminasi terhadap perempuan dari beragam
spektrum, salah satunya kekerasan seksual.
Meski demikian, karena belum ada payung
hukum yang spesifik mengatur tentang kekerasan seksual, perempuan belum
kunjung lepas dari jerat sial yang sulit diurai. Kasus Agni dan Baiq
Nuril belum memberi hasil yang memihak korban. Sementara, payung hukum
yang dinanti masih alot dibahas. “Pembahasan akan dimulai lagi setelah
pileg. Ditargetkan disahkan pada Agustus 2019,” kata Masruchah.
|
Sebelum lanjut, saya cerita sebentar pengalaman menulis artikel ini. Tulisan ini sudah tertunda beberapa minggu. Kenapa gitu? Selain belum ada ide yang berkelebat di kepala, seminggu lalu saya pulang kampung. Ah, namanya juga di kampung halaman, ya tentu banyak godaan yang bikin nggak fokus kerja. Biasalah, kumpul sama keluarga adalah prioritas utama setiap pulang kampuang (hashtag: edisi anak rantauan). Setelah abis masa liburan, saya buka laptop dan nemu artikel tentang contoh paragraf Simple Past Tense ini masih ajah nongkrong di folder draft. Mau nggak mau, akhirnya keluarin jurus pemungkas deh. Apa itu? ”Force yourself!” Yap, memaksa diri biar ngeluarin semua ide. Apapun yang terjadi, harus tetap memaksa diri untuk tetap berkarya bahkan kalau sampai Zombie Apocalypse (koq jadi nyambung ke Walking Dead sih). Intinya, pekerjaan nggak bakal selesai kalau cuma diliatin doang. Untuk itu saya mau lanjut bikin contoh paragraf Simple Past Tense. Ingat ya, i...
Comments
Post a Comment