DuitIni perkara duit. Teryata duit dari zaman dahulu kala selalu bikin jadi perkara.
SEMUA orang di negeri ini tahu kalau memberantas korupsi
itu lebih sulit daripada memberantas ketombe. Itu sebabnya Indonesia
butuh lebih dari sekadar sampo anti-ketombe. Memerangi korupsi sudah
dilakukan semenjak awal republik ini berdiri. Beragam lembaga telah didirikan, berbagai cara telah dilakukan, tapi rupanya korupsi bukan lagi wabah yang bisa dibasmi begitu saja.
Prilaku koruptif seperti telah bermimikri jadi gaya hidup. Celakanya lagi, mengutip Bung Hatta pada 1970-an ketika mega korupsi
Pertamina terjadi, “Korupsi telah jadi budaya,” katanya. Mungkin
kecenderungan yang sama sudah diendus lebih dulu oleh antropolog
Professor Koentjaraningrat yang menulis bahwa orang Indonesia itu punya
“mentalitas menerabas”, berani melanggar hukum demi cepat sampai tujuan.
Cepat kaya salah satunya.
Di
zaman yang serba bayar ini (bahkan kencing dan berak pun bayar),
seperti tak ada solusi lain untuk bikin hidup tenang kecuali punya duit.
Ujung-ujungnya urusan duit. Jangan-jangan, kita harus memikirkan lagi
penggambaran masyarakat Indonesia di masa lalu yang gemar gotong-royong,
bahu membahu membantu sesama tanpa pamrih.
Apakah
masyarakat sekarang sudah beralih menjadi masyarakat pasar, yang segala
tindak-tanduknya berangkat dari perhitungan untung rugi? Nun di Amerika
sana, di negeri di mana paham kapitalisme berkembang biak dan
beranak-pinak, Michael Sandel, seorang professor dari Harvard University
mencemaskan keadaan itu. Dalam bukunya, What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Markets,
Sandel mengkhawatirkan kalau ekonomi pasar, yang sejatinya sebuah alat
yang berguna dan efektif untuk mengatur aktivitas produksi, telah
teradopsi dan bersalin rupa jadi “masyarakat pasar”, di mana relasi
sosial dipengaruhi oleh nilai-nilai dan mekanisme pasar.
“Apa
yang uang tak bisa beli? Sekarang tak banyak lagi,” kata Sandel. Duit
memang bukan segalanya, tapi sekarang segala-galanya butuh duit.
Pragmatisme yang kian merebak dan mewabah. Seakan nilai-nilai luhur dan
moralitas tergerus oleh kalkulasi “wani piro?”, berani membela yang
bayar, yang benar tak selalu harus dibela.
Sandel
cemas terhadap segala hal yang ditaksir dan dibanderol harga. Bahkan
sekarang di Amerika, kata Sandel, orang tak perlu antre untuk bisa dapat
tiket bioskop atau pementasan teater. Orang juga tak perlu repot antre
di rumah sakit untuk pelayanan kesehatan. Bila sanggup membayar lebih,
pasien bisa potong antrean. Tak perlu datang pertama untuk dapat
pelayanan lebih cepat, karena yang dibutuhkan adalah seberapa tebal isi
kocek Anda untuk dilayani lebih dulu. Orang miskin dilarang sakit
apalagi nonton bioskop.
Ternyata persoalan UUD alias Ujung-Ujungnya Duit sudah merambah kemana-mana. Begitu pula naga-naganya di negeri ini. Money politic,
politik uang, saking seringnya terjadi, sudah dianggap biasa. Saben ada
hajat demokrasi, pemilu dan pemilukada, duit disawer, berharap rakyat
bisa digiring menentukan pilihan berdasarkan kemauan si penyawer. Jadi
anggota DPR/DPRD pun butuh modal besar. Pada intinya berpolitik zaman
sekarang hampir dipastikan mustahil kalau tanpa duit. Dan setelah
terpilih, jangan aneh kalau yang dibicarakan pun tak jauh-jauh soal
duit.
Bukan hanya
di arena politik, duit pun bicara di wilayah pendidikan. Tengok saja di
kota-kota besar, sekolah-sekolah berkualitas tersedia bagi Anda yang
punya kuantitas duit berlebih. Untuk diterima di universitas negeri
ternama pun, kalau ada duit, selesai perkara. Kalau zaman kolonial di
Hindia Belanda, sekolah bermutu tersedia bagi kalangan Eropa dan
sebagian kecil elit priayi pribumi, maka sekarang sekolah bermutu
tersedia bagi orang-orang yang berduit.
Sudah
jadi rahasia umum kalau masuk jadi pegawai negeri bisa pakai duit untuk
pelicin. Praktik korupsi merebak di kalangan pemerintahan, dilakukan
dengan bermacam cara dan modus (sejak 2004 ada 176 lebih kasus korupsi
yang dilakukan kepala daerah). Ketua KPK
Abraham Samad mengatakan bahwa negeri ini kekurangan pejabat yang mau
hidup sederhana. Hidup sederhana di zaman seperti ini adalah sebuah
kemewahan. Perlu nyali besar untuk hidup sederhana di tengah gempuran
hal-hal yang serba bercorak pasar, serba beraroma duit, seperti yang
digambarkan oleh Sandel dalam bukunya.
Zaman
sekarang, jangan banyak berharap ditemukan pemimpin sebersahaja Bung
Hatta yang membeli sepatu merk Bally pun tak mampu. Atau pemimpin
sekaliber Johannes Leimena yang hanya punya dua potong kemeja
sebagaimana juga Mohammad Natsir yang mengenakan kemeja tambalan saat
menjabat perdana menteri. Apalagi gaya hidup sederhana itu ditunjang
oleh kinerja yang baik dan dedikasi sepenuh hati untuk negeri.
|
Sebelum lanjut, saya cerita sebentar pengalaman menulis artikel ini. Tulisan ini sudah tertunda beberapa minggu. Kenapa gitu? Selain belum ada ide yang berkelebat di kepala, seminggu lalu saya pulang kampung. Ah, namanya juga di kampung halaman, ya tentu banyak godaan yang bikin nggak fokus kerja. Biasalah, kumpul sama keluarga adalah prioritas utama setiap pulang kampuang (hashtag: edisi anak rantauan). Setelah abis masa liburan, saya buka laptop dan nemu artikel tentang contoh paragraf Simple Past Tense ini masih ajah nongkrong di folder draft. Mau nggak mau, akhirnya keluarin jurus pemungkas deh. Apa itu? ”Force yourself!” Yap, memaksa diri biar ngeluarin semua ide. Apapun yang terjadi, harus tetap memaksa diri untuk tetap berkarya bahkan kalau sampai Zombie Apocalypse (koq jadi nyambung ke Walking Dead sih). Intinya, pekerjaan nggak bakal selesai kalau cuma diliatin doang. Untuk itu saya mau lanjut bikin contoh paragraf Simple Past Tense. Ingat ya, ini hanya contoh cer
Comments
Post a Comment