Satu dari keresahan yang gue miliki adalah bagimana sosial media sekarang sudah bergeser permainannya. Perlahan-lahan penggunanya sadar akan kemungkinan untuk memakai platform ini secara anonim. Menjadi anonim tandanya manusianya memiliki kesempatan untuk bersembunyi di balik identitas misterius, memuaskan dan ngomporin sifat pengecut si manusia.
Berbicara soal pengecut, gue rasa semua manusia punya sifat tersebut. Mereka punya ketakutan jika yang mereka lakukan akan diketahui oleh orang lain. Mereka punya ketakutan kalau mereka ngelempar seseorang pake batu, orang tersebut akan marah. Maka dari itu mereka lebih memilih untuk tetap ngelempar orang tersebut dengan batu, tapi kali ini menutupi kepalanya dengan kardus. Ketimbang mengurungkan niat dan ngebuang batu yang udah digenggam di tangan mereka.
Fenomena hate speech dan cyber bullying cukup sering gue lihat. Sekarang semua orang bisa jadi korban dua hal tersebut. Mau itu orang biasa, artis, sampai presiden sekalipun. Sering kali gue takjub dengan kebebasan yang kita sekarang miliki. Kita bebas sekali bicara apa aja yang kita mau tanpa harus mengkaji kalimatnya terlebih dahulu. Kita bebas bagaimana mau mengekspresikan kesetujuan maupun ketidaksetujuan kita terhadap sesuatu. Kita bebas bagaimana mau mengkritik seseorang atau sesuatu. Mungkin karena dengan percaya dirinya kita beranggapan semua itu nggak akan ada konsekuensinya kelak. Padahal sebagai manusia beragama, konsekuensi bertutur kata buruk itu sudah jelas. Tapi mungkin karena Tuhan itu nggak keliatan kali, ya. Jadi kita nggak setakut itu dengan konsekuensi yang udah Tuhan janjikan.
Berbicara soal hate speech, beberapa hari yang lalu untuk kesekian kalinya, gue menjadi korban. Kalau kata orang-orang, salah satu resiko menjadi orang yang "eksis" di dunia nyata maupun dunia maya adalah menjadi korban kehitaman hati beberapa orang. Seseorang insecure sama diri mereka sendiri, kita yang jadi korban. Seseorang nggak puas dengan hidup mereka sendiri, kita yang jadi korban. Yoi, gue masih merasa orang yang suka menyebarkan kebencian kepada orang lain sebenernya punya issue sama diri mereka sendiri. Ketimbang menyalahkan diri sendiri dan mencoba introspeksi, mereka malah ngelempar amarah tersebut ke orang lain.
Anyway, karena teori "resiko" tersebut, bereaksi terhadap hate speech seakan-akan menjadi hal yang sebaiknya nggak dilakukan karena toh itulah kenyataan yang harus dihadapi.
I don't think that's fair. Nggak adil buat si korban. Karena si korban dilahirin ke dunia ini bukan buat di-bully dan dihujat. Sama nggak masuk akalnya dengan orang di jalan yang nggak lo kenal tiba-tiba ngegaplok kepala lo. Waktu ditanya, alasan dia adalah "Gue nggak suka aja ngeliat muka lo. Muka lo songong."
Gue yakin ada banyak juga orang-orang biasa, artis, selebtwit, selebgram, politisi, dan sebagainya, yang juga mengalami kejadian serupa. Digoblok-goblokin, ditolol-tololin, dikatain fisiknya, dikatain keluarganya, dikatain cewe nggak bener, dihujat sok ini dan sok itu. Macem-macem lah omongan warganet. Tapi kebanyakan dari mereka diam. Karena memang kalau diladenin juga nggak akan ada habisnya. Oleh karena itu mereka lebih memilih diam.
Tapi setelah gue pikir-pikir, dengan berdiam diri kita malah terlihat mengamini atau menyetujui konsep berkomunikasi di sosial media yang seakan-akan nggak ada konsekuensi dikarenakan ke-anonymous-an tersebut. Gue percaya ada kalanya warganet-warganet aneh yang nggak tau sopan-santun ini harus diedukasi dan disadarkan bahwa kalau berbicara, mau di dunia manapun, sama aja caranya. Tapi di satu sisi, gue nggak tau cara yang seperti apa yang paling bisa menyadarkan mereka. Karena biasanya orang-orang yang kayak begini hatinya udah tertutup dan lebih seneng ngehujat orang karena buat mereka hal itu sangat asyik untuk dilakukan.
Satu lagi hal yang sangat amat gue benci dari sosial media di era sekarang adalah akun gosip dan drama yang mulai menjamur. Kenapa yang begini makin
Comments
Post a Comment