Skip to main content

Bertutur kata di Era Digital



Satu dari keresahan yang gue miliki adalah bagimana sosial media sekarang sudah bergeser permainannya. Perlahan-lahan penggunanya sadar akan kemungkinan untuk memakai platform ini secara anonim. Menjadi anonim tandanya manusianya memiliki kesempatan untuk bersembunyi di balik identitas misterius, memuaskan dan ngomporin sifat pengecut si manusia.

Berbicara soal pengecut, gue rasa semua manusia punya sifat tersebut. Mereka punya ketakutan jika yang mereka lakukan akan diketahui oleh orang lain. Mereka punya ketakutan kalau mereka ngelempar seseorang pake batu, orang tersebut akan marah. Maka dari itu mereka lebih memilih untuk tetap ngelempar orang tersebut dengan batu, tapi kali ini menutupi kepalanya dengan kardus. Ketimbang mengurungkan niat dan ngebuang batu yang udah digenggam di tangan mereka.

Fenomena hate speech dan cyber bullying cukup sering gue lihat. Sekarang semua orang bisa jadi korban dua hal tersebut. Mau itu orang biasa, artis, sampai presiden sekalipun. Sering kali gue takjub dengan kebebasan yang kita sekarang miliki. Kita bebas sekali bicara apa aja yang kita mau tanpa harus mengkaji kalimatnya terlebih dahulu. Kita bebas bagaimana mau mengekspresikan kesetujuan maupun ketidaksetujuan kita terhadap sesuatu. Kita bebas bagaimana mau mengkritik seseorang atau sesuatu. Mungkin karena dengan percaya dirinya kita beranggapan semua itu nggak akan ada konsekuensinya kelak. Padahal sebagai manusia beragama, konsekuensi bertutur kata buruk itu sudah jelas. Tapi mungkin karena Tuhan itu nggak keliatan kali, ya. Jadi kita nggak setakut itu dengan konsekuensi yang udah Tuhan janjikan.

Berbicara soal hate speech, beberapa hari yang lalu untuk kesekian kalinya, gue menjadi korban. Kalau kata orang-orang, salah satu resiko menjadi orang yang "eksis" di dunia nyata maupun dunia maya adalah menjadi korban kehitaman hati beberapa orang. Seseorang insecure sama diri mereka sendiri, kita yang jadi korban. Seseorang nggak puas dengan hidup mereka sendiri, kita yang jadi korban. Yoi, gue masih merasa orang yang suka menyebarkan kebencian kepada orang lain sebenernya punya issue sama diri mereka sendiri. Ketimbang menyalahkan diri sendiri dan mencoba introspeksi, mereka malah ngelempar amarah tersebut ke orang lain.

Anyway, karena teori "resiko" tersebut, bereaksi terhadap hate speech seakan-akan menjadi hal yang sebaiknya nggak dilakukan karena toh itulah kenyataan yang harus dihadapi. 

I don't think that's fair. Nggak adil buat si korban. Karena si korban dilahirin ke dunia ini bukan buat di-bully dan dihujat. Sama nggak masuk akalnya dengan orang di jalan yang nggak lo kenal tiba-tiba ngegaplok kepala lo. Waktu ditanya, alasan dia adalah "Gue nggak suka aja ngeliat muka lo. Muka lo songong."

Gue yakin ada banyak juga orang-orang biasa, artis, selebtwit, selebgram, politisi, dan sebagainya, yang juga mengalami kejadian serupa. Digoblok-goblokin, ditolol-tololin, dikatain fisiknya, dikatain keluarganya, dikatain cewe nggak bener, dihujat sok ini dan sok itu. Macem-macem lah omongan warganet. Tapi kebanyakan dari mereka diam. Karena memang kalau diladenin juga nggak akan ada habisnya. Oleh karena itu mereka lebih memilih diam.

Tapi setelah gue pikir-pikir, dengan berdiam diri kita malah terlihat mengamini atau menyetujui konsep berkomunikasi di sosial media yang seakan-akan nggak ada konsekuensi dikarenakan ke-anonymous-an tersebut. Gue percaya ada kalanya warganet-warganet aneh yang nggak tau sopan-santun ini harus diedukasi dan disadarkan bahwa kalau berbicara, mau di dunia manapun, sama aja caranya. Tapi di satu sisi, gue nggak tau cara yang seperti apa yang paling bisa menyadarkan mereka. Karena biasanya orang-orang yang kayak begini hatinya udah tertutup dan lebih seneng ngehujat orang karena buat mereka hal itu sangat asyik untuk dilakukan.

Satu lagi hal yang sangat amat gue benci dari sosial media di era sekarang adalah akun gosip dan drama yang mulai menjamur. Kenapa yang begini makin 

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Paragraf Simple Past Tense, Cerita Seru Masa Lalu

Sebelum lanjut, saya cerita sebentar pengalaman menulis artikel ini. Tulisan ini sudah tertunda beberapa minggu. Kenapa gitu? Selain belum ada ide yang berkelebat di kepala, seminggu lalu saya pulang kampung. Ah, namanya juga di kampung halaman, ya tentu banyak godaan yang bikin nggak fokus kerja. Biasalah, kumpul sama keluarga adalah prioritas utama setiap pulang kampuang (hashtag: edisi anak rantauan). Setelah abis masa liburan, saya buka laptop dan nemu artikel tentang contoh paragraf Simple Past Tense ini masih ajah nongkrong di folder draft. Mau nggak mau, akhirnya keluarin jurus pemungkas deh. Apa itu? ”Force yourself!” Yap, memaksa diri biar ngeluarin semua ide. Apapun yang terjadi, harus tetap memaksa diri untuk tetap berkarya bahkan kalau sampai  Zombie Apocalypse  (koq jadi nyambung ke  Walking Dead  sih). Intinya, pekerjaan nggak bakal selesai kalau cuma diliatin doang. Untuk itu saya mau lanjut bikin contoh paragraf Simple Past Tense. Ingat ya, ini hanya contoh cer

Taktik Fox Kuasai Indonesia

Taktik Fox Kuasai Indonesia Untuk kepentingan Republik, pemerintah memberikan monopoli dagang kepada seorang taipan film Amerika. PADA 1947, Perdana Menteri Sjahrir meminta Sumitro Djojohadikusumo berangkat ke Amerika Serikat untuk menyiapkan jalan agar sengketa Indonesia-Belanda masuk dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Sumitro tak punya paspor, apalagi uang. Dia menembus blokade Belanda menuju Singapura dan meyakinkan Konsulat AS di sana untuk memberikan visa. Dia juga mengatur penyelundupan kapuk dan kina untuk membiayai perjalanannya. Satu kapal Amerika yang berusaha mematahkan blokade disita Belanda. Satu kapal lainnya berhasil membawa muatan ke New York tapi para bankir tak mau membayar $80.000 atas pengiriman barang-barang itu. Padahal, setiba di New York, Sumitro tak punya kontak dan uang tunai –hanya $20 di kantong. Sumitro pun melibatkan firma hukum

Antara Perempuan dan Politik

Antara Perempuan dan Politik Supeni menolak pemisahan perempuan dari partai politik. Kritiknya tak asal bunyi, ia jadi tokoh penting dalam PNI. Supeni kala menemani Sukarno menyambut Putri Michiko dari Jepang. Sumber: Supeni Wanita Utusan Negara. PROKLAMASI mengubah konfigurasi politik. Ketiadaan musuh bersama membuat lelaki menjadi makin dominan dalam bidang politik sementara perempuan disingkirkan dan dianggap lebih layak bergerak di bidang sosial. Organisasi perempuan yang bercorak keagamaan, misalnya, kebanyakan berjalan dengan pembagian kerja model ini. Kecenderungan seperti itu dikritik para aktivis perempuan, salah satunya Supeni. Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menyebut Supeni menolak keras pemisahan perempuan dan partai politik. Menurutnya, perempuan harusnya dianggap setara dan disamakan statusnya dengan lelaki untuk ikut andil dalam urusan-urusan politik. Pendapat