Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Pertama NaziDia mati di kamp konsentrasi Nazi yang paling ditakuti.
Pada 22 Maret 1933 Kamp Konsentrasi Dachau dibuka. Inilah kamp
konsentrasi pertama yang dibangun Nazi-Jerman. Kamp ini juga beroperasi
terlama sampai 29 April 1945. Jumlah tahanan diperkirakan mencapai
188.000 orang. Korban meninggal yang tercatat sebanyak 32.000, namun ribuan lainnya tak tercatat.
Sekitar 10.000 dari 30.000 tahanan dalam keadaan sakit pada saat
pembebasan. Salah satu korban meninggal berasal dari Indonesia: R.M. Sidartawan.
Sidartawan, mahasiswa hukum di Universitas Leiden sejak 1929. Dia menjabat sekretaris Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Dia juga menjadi anggota Bond van Sociaal-Democratische Studieclubs (Perserikatan Klub-klub Studi Sosial Demokrat).
Menurut sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah,
banyak orang Indonesia terutama di Leiden menjadi anggota perserikatan
itu. Perserikatan itu dekat sekali hubungannya dengan SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij atau Partai Buruh Sosial-Demokrat), tapi tidak ada hubungan organisatoris.
“Bahkan Sidartawan pernah menjadi redaktur majalah perserikatan klub studi itu sekitar tahun 1935,” tulis Poeze.
Ketika Nazi-Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940, Sidartawan dan anggota Perhimpunan Indonesia ikut melakukan verzet atau perlawanan. Mereka pun menjadi sasaran Nazi-Jerman.
Pada pagi 25 Juni 1941, polisi politik Nazi-Jerman, Sicherhetisdienst, menggeledah tempat-tempat tinggal mahasiswa Indonesia di Leiden. Mereka mencari empat pemimpin Perhimpunan Indonesia. Dua di antaranya tertangkap, yaitu Sidartawan dan Parlindoengan Loebis, sedangkan Setiadjit dan Ilderem dapat meloloskan diri.
Sidartawan dan Loebis dimasukan ke kamp konsentrasi secara berpindah-pindah.
Loebis dimasukkan ke empat kamp konsentrasi: Schoorl dan Amersfoort di
Belanda, kemudian Buchenwald dan Sachenhausen di Jerman.
“Di
kamp Buchenwald aku boleh dikatakan beruntung juga. Pekerjaanku tidak
terlalu berat. Selama kira-kira enam minggu aku menjadi Stubendienst, kemudian selama kurang lebih dua bulan menjadi komando Schreiber (juru tulis komando),” kata Loebis dalam otobiografinya, Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi.
Loebis selamat dan kembali ke Indonesia. Dia meninggal dunia pada 1994. Sedangkan Sidartawan menjadi anggota Perhimpunan Indonesia pertama korban Nazi-Jerman.
Loebis
menerima kabar dari seorang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp
bahwa Sidartawan akan dipindahkan lagi ke kamp Dachau untuk Erholung yang artinya beristirahat supaya kekuatannya pulih kembali.
“Akan tetapi Kamp Dachau sudah tersohor sebagai Vernichtungslager, artinya kamp di mana para tawanan dibunuh kalau dia kelihatan sudah tidak ada tenaga lagi untuk bekerja,” kata Loebis.
Nama
Dachau kemudian terkenal dan ditakuti sehingga muncul pameo di Jerman
bila seseorang ditangkap dan dijebloskan ke dalam kamp konsentrasi orang
selalu mengatakan “dia di-Dachau-kan.”
“Sampai
akhir perang,” kata Loebis, “aku sama sekali tidak mengetahui di mana
dan kapan Sidartawan meninggal dunia. Tidak ada seorang pun yang
mendapat kabar.”
Dalam inmemoriam yang terbit di majalah Indonesia,
21 Juli 1945, disebutkan Sidartawan berturut-turut menempati kamp
konsentrasi di Scheveningen, Schoorl, Amersfoort, Hamburg, Neuengamme, dan Dachau.
Inmemoriam
itu menulis “para penyintas dari kamp konsentrasi yang mengerikan
sekarang mengalir ke negara masing-masing itu, membawa sukacita bagi
keluarga mereka. Tetapi berapa banyak keluarga yang terbenam dalam duka
yang dalam, karena salah satu dari anggota keluarganya telah menyerah
pada kehidupan yang sulit di kamp-kamp itu. Sidartawan termasuk yang
tidak akan kembali. Sidartawan adalah salah satu orang Indonesia yang
menjadi korban lembaga-lembaga Nazi yang buruk itu.”
Sidartawan meninggal dunia akibat sakit dan siksaan di Kamp Konsentrasi Dachau pada November 1942. |
Sebelum lanjut, saya cerita sebentar pengalaman menulis artikel ini. Tulisan ini sudah tertunda beberapa minggu. Kenapa gitu? Selain belum ada ide yang berkelebat di kepala, seminggu lalu saya pulang kampung. Ah, namanya juga di kampung halaman, ya tentu banyak godaan yang bikin nggak fokus kerja. Biasalah, kumpul sama keluarga adalah prioritas utama setiap pulang kampuang (hashtag: edisi anak rantauan). Setelah abis masa liburan, saya buka laptop dan nemu artikel tentang contoh paragraf Simple Past Tense ini masih ajah nongkrong di folder draft. Mau nggak mau, akhirnya keluarin jurus pemungkas deh. Apa itu? ”Force yourself!” Yap, memaksa diri biar ngeluarin semua ide. Apapun yang terjadi, harus tetap memaksa diri untuk tetap berkarya bahkan kalau sampai Zombie Apocalypse (koq jadi nyambung ke Walking Dead sih). Intinya, pekerjaan nggak bakal selesai kalau cuma diliatin doang. Untuk itu saya mau lanjut bikin contoh paragraf Simple Past Tense. Ingat ya, i...
Comments
Post a Comment