Mula Operasi PlastikBermula dari kebutuhan untuk memperbaiki luka para korban perang, operasi plastik kemudian juga memperindah bagian tubuh.
Tiddo
Reddingius (duduk paling kiri) bersama rekan-rekannya di CBZ. (A Brief
History of the Development of Plastic Surgery in the Netherlands
East-Indies).
KRISDAYANTI,
Mpok Atiek, dan Nikita Mirzani mengaku melakukan operasi plastik. Para
selebriti tersebut menjalani bedah estetis (kosmetik) untuk memperindah
penampilan.
Operasi
plastik juga dilakukan pasien penderita tumor kulit, bibir sumbing,
atau luka bakar. Operasi plastik golongan terakhir ini disebut bedah
konstruktif. Tujuannya untuk menangani bagian tubuh yang cedera.
Praktik
operasi plastik di Indonesia bermula dari masuknya pengetahuan medis
Barat. Mulanya, bedah plastik ditujukan hanya untuk perbaikan, khususnya
pada korban perang yang mengalami luka bakar atau kerusakan di bagian
wajah. Pengetahuan tentang prosedur rekonstruksi ini dibawa oleh para
ahli bedah Austro-Hungaria yang tinggal di Hindia-Belanda. Mereka datang
karena bergabung dengan Korps Medis Angkatan Darat (KNIL) setelah
Perang Dunia I. Mereka berpengalaman melakukan operasi pada korban
perang selama beberapa tahun.
Kasus-kasus yang mereka temui waktu itu
umumnya kerusakan wajah yang sudah parah karena dibiarkan, luka bakar,
kanker kulit, dan bibir sumbing. Sayangnya, publikasi tentang operasi
plastik di Hindia Belanda sangat minim, namun jejaknya bisa ditelusuri
dari kedatangan para dokter bedah.
Barend
Haesekaer dalam “A Brief History of the Development of Plastic Surgery
in the Netherlands East-Indies” menyebut Robert Lesk sebagai profesor
bedah (diangkat 1927) dan ortopedi pertama di Batavia. Lesk, seorang
Austro-Hongaria yang lahir di Trautenau (kini Trutnov di Republik Ceko),
belajar kedokteran di Wina, Austria. Di Wina pula Lesk dilatih sebagai
ahli bedah.
Pada
1909, Lesk masuk (KNIL) dan ditugaskan di Jawa. Dia diminta untuk
mengajar bedah dan dermatologi di sekolah kedokteran, STOVIA, hingga
1914. Selama mengajar, Lesk menerbitkan tulisan tentang bedah plastik
untuk menangani kanker kulit, operasi kepala dan leher, serta pengobatan
bibir sumbing dan langit-langit mulut di Jurnal Medis Hindia Belanda Timur.
Lesk juga bertugas keliling mengikuti
pasukan Belanda yang berperang di Ambon, Manado, dan Aceh. Seperti
dimuat dalam obituari Lesk di De Sumatra Post pada 1937, Lesk
setidaknya mengoperasi 30 orang di tiap kota yang dikunjunginya. Saking
terkenalnya sebagai dokter bedah, sampai-sampai ada kalimat penyemangat:
“Jangan takut perang, kalau usus putus, Dr. Lesk samboeng!".
Kasus
lain yang jamak ditemui ialah pencangkokan kulit dan rekonstruksi
wajah. Operasi kasus ini banyak ditangani oleh Tiddo Reddingius, yang
menjadi profesor setelah Lesk meninggal dan bertugas di Centrale
Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ, kini RS Cipto Mangunkusumo).
Selain
berkontribusi pada pengobatan para tentara yang membutuhkan operasi
bedah serta perawatan luka bakar, Reddingius berjasa memperkenalkan
anestesi dengan gas tawa (nitro oksida) di klinik bedah Batavia.
Reddingius juga berjasa dalam menyiapkan tenaga medis (baik kulit putih
maupun pribumi) untuk keperluan perang.
Sebelum 1930-an, dokter bedah berkutat
pada masalah perbaikan anggota tubuh yang rusak dan pengobatan yang
dianggap mendesak. Belum ada catatan tentang operasi plastik untuk
tujuan estetis, yang ada hanya sebatas meminimalisasi bekas operasi.
Bibit bedah kosmetik baru keluar pada 1915 ketika Herman Cornelis van
den Vrijhoef menulis tentang aspek kosmetik dari bekas luka bedah. Ia
memberi aturan dasar operasi plastik tentang bahan jahitan halus, juga
teknik menyambung kulit agar tidak menimbulkan bekas luka parah.
Bedah
estetis baru mulai diperbincangkan setelah 1930. Adalah Suzanne Noel,
dokter asal Paris yang pernah berkunjung ke Batavia untuk tur dunia,
yang memperkanlkannya. Pada 19 Mei, Suzanne berbicara di pertemuan medis
di Batavia tentang bedah estetika.
Isi
ceramah Suzanne menarik perhatian Annie Mulder van de Graaf, seorang
neurolog dan psikiatris lulusan Universitas Utrecht. Annie yang tinggal
di Surabaya pada akhir tahun 1920-an hingga 1930-an, kemudian menemui
Suzanne di Paris dan berguru bedah kosmetik padanya. Pada 1936, Annie
menerbitkan buku tentang bedah estetika dan efek psikologisnya yang
dedikasikan untuk Suzanne.
Sejauh itu, bedah kosmetik yang paling
sering ditemui adalah perawatan bedah keloid daun telinga pada pasien
Jawa. T. Rado dalam tulisannya “Cosmetische operaties in Indie” menyebut
kasus yang ia tangani di Hindia-Belanda, seperti pengangkatan benjolan
di permukaan kulit (kista sebaceous), perawatan pada telinga
caplang dan hidung pesek orang Jawa. Ia mengoperasi hidung pesek dengan
mengebor lubang hidung untuk mencangkok tulang rawan. Meski demikian, di
zaman itu jarang sekali pasien minta dioperasi.
|
Sebelum lanjut, saya cerita sebentar pengalaman menulis artikel ini. Tulisan ini sudah tertunda beberapa minggu. Kenapa gitu? Selain belum ada ide yang berkelebat di kepala, seminggu lalu saya pulang kampung. Ah, namanya juga di kampung halaman, ya tentu banyak godaan yang bikin nggak fokus kerja. Biasalah, kumpul sama keluarga adalah prioritas utama setiap pulang kampuang (hashtag: edisi anak rantauan). Setelah abis masa liburan, saya buka laptop dan nemu artikel tentang contoh paragraf Simple Past Tense ini masih ajah nongkrong di folder draft. Mau nggak mau, akhirnya keluarin jurus pemungkas deh. Apa itu? ”Force yourself!” Yap, memaksa diri biar ngeluarin semua ide. Apapun yang terjadi, harus tetap memaksa diri untuk tetap berkarya bahkan kalau sampai Zombie Apocalypse (koq jadi nyambung ke Walking Dead sih). Intinya, pekerjaan nggak bakal selesai kalau cuma diliatin doang. Untuk itu saya mau lanjut bikin contoh paragraf Simple Past Tense. Ingat ya, ini hanya contoh cer
Comments
Post a Comment