Masuknya Islam ke Selandia BaruOrang-orang muslim awal yang datang ke Selandia Baru. Salah satunya dari Jawa.
Aksi
terorisme terjadi di Selandia Baru pada Jumat, 15 Maret 2019. Pelaku
utamanya, Brenton Tarrant, pria kulit putih berusia 28 tahun kelahiran
Australia, menembaki kaum muslim di dua masjid di Christchurch. 50 orang
meninggal, satu di antaranya warga negara Indonesia.
Aksi biadab itu menjadi peristiwa kelam bagi warga muslim di Selandia Baru yang telah berusia lebih dari seabad.
Muslim
pertama yang masuk ke Selandia Baru berasal dari Cina. Mereka datang
untuk bekerja di pertambangan emas. Mereka disebut dalam sensus tahun
1874.
Sensus itu, menurut Erich Kolig dalam New Zealand's Muslims and Multiculturalism, mendaftar 17 “Mohamatans”
atau “Mahometans", semuanya laki-laki, di antaranya 15 orang Cina yang
bekerja di tambang emas Otago di Dunstan dekat Dunedin.
Kegiatan
beragama mereka tidak dicatat atau dikomentari. Sehingga tidak
diketahui apakah mereka taat beribadah, dengan cara apa mereka
menyembah, atau bagaimana mereka mengekspresikan kesalehan mereka atau
sebaliknya. Tidak diketahui apakah mereka akhirnya memutuskan untuk
tinggal secara permanen atau kembali ke Cina. Juga tidak diketahui
apakah mereka, atau beberapa dari mereka, membangun keluarga di Selandia
Baru dan meneruskan keyakinannya kepada anak-anaknya.
“Yang
terakhir tampaknya agak tidak mungkin karena tidak ada informasi muslim
di antara komunitas Cina-Selandia Baru saat ini. Masa kehadiran muslim
Cina pun berlalu tanpa meninggalkan jejak,” tulis Erich.
Sementara itu, Panji Masyarakat, No.
598 Tahun XXX, 1-10 Januari 1989, melaporkan di antara Cina muslim ada
yang menjadi kaya dan kembali ke Cina, dan ada yang pindah ke negara
lain. Banyak pula yang meninggal tanpa keturunan. Sehingga orang-orang
Cina muslim itu menghilang dari Selandia Baru dan tidak ada bekasnya
lagi.
Pada permulaan abad ke-20, lanjut Panji Masyarakat,
seorang pangeran dari Ethiopia bernama Amir Ali dengan keluarganya
pindah ke Selandia Baru. “Karena mereka satu-satunya keluarga Islam dan tidak ada pembinaan, maka keturunannya menjadi Kristen walaupun tetap memakai nama semacam nama Islam.”
Menariknya, muslim pertama yang dimakamkan di Selandia Baru berasal dari Jawa.
“Catatan
(sensus) itu juga menyebutkan muslim pertama yang dimakamkan di
Selandia Baru seorang pelaut Jawa bernama Mohamed Dan, yang meninggal di
Dunedin pada 1888,” tulis Erich. Informasi ini bersumber dari Muslims in New Zealand (2005), buklet ulang tahun ke-25 Federation of Islamic Associations of New Zealand.
Dengan
demikian, menurut Erich, kemungkinan ada beberapa pelaut muslim dari
Asia Tenggara atau Asia Selatan yang memutuskan tinggal di Selandia Baru
secara permanen atau sementara.
Erich
menyebut imigran muslim pertama yang riwayatnya diketahui dengan baik
adalah Ismael Ahmed Bhikoo dari Gujarat, India, yang tiba di Selandia
Baru pada 1909. Awalnya dia menuju Fiji, tetapi memutuskan tinggal di
Selandia Baru. Dia membangun toko di Auckland dan kemudian membawa
putra-putranya –menurut sumber lain, saudara-saudaranya– dari India
untuk membantu usahanya.
Setahun
setelah Bhikoo, Essop Moosa juga dari India tiba dan tinggal di
Auckland. Tak lama setelah itu, Muhammad Suleiman Kara memilih
Christchurch sebagai tempat tinggal barunya.
Bhikoo
dan Moosa mempertahankan hubungan dengan keluarganya di India selama
bertahun-tahun. Menantu Moosa dan Bhikoo masing-masing datang pada 1936
dan 1940. Pada 1981, setidaknya ada 44 keturunan Bhikoo dan Moosa di
Selandia Baru.
“Bhikoo
dan Moosa diakui sebagai bapak pendiri komunitas muslim di Selandia
Baru. Mereka akhirnya membawa istri dan kerabat dari India dan, dan
keturunan mereka masih menjadi inti dari komunitas muslim saat ini,”
tulis Erich.
Bukan Bhikoo, Canterbury Muslim Association dalam Muslims in New Zealand (2005) menyebut
muslim pertama yang tiba di Canterbury adalah Sheikh Mohamed Din dari
Punjab, India. Dia diyakini tiba pada 1890 bersama gelombang imigran
muslim Punjabi lainnya. Pada 1905, orang Turkmenistan, Saleh Mohamed,
dan ayahnya, Sultan, menetap di Christchurch. Kemudian Ismail Kara tiba
pada 1907.
Pada
1920, pemerintah menerapkan kebijakan imigrasi "White New Zealand" yang
menghalangi secara signifikan imigrasi dari Asia selama bertahun-tahun.
Sampai usai Perang Dunia II, populasi muslim di Selandia Baru masih
kurang dari seratus.
Pada 1951, sekitar 50 orang muslim dari Balkan (Albania dan Bosnia), Turki, dan negara-negara tetangganya, tiba di Selandia Baru. Jumlah muslim pun meningkat dari 67 pada 1945 menjadi 205 orang. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 260 orang. Mayoritas laki-laki sehingga secara bertahap muslim perempuan mulai berdatangan.
Jumlah
muslim yang dilaporkan dalam sensus antara tahun 1961 dan 1971 berlipat
tiga, dari 260 menjadi 779. Pertumbuhan yang relatif cepat berlanjut
pada 1970-an dan 1980-an dengan jumlah muslim, sebagaimana dicatat
dalam sensus, mencapai 2.500 pada 1986. Meskipun jumlahnya masih kecil,
peningkatannya hampir sepuluh kali lipat dalam dua puluh tahun terakhir,
dan lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Peningkatan
yang cepat tercermin dalam sensus tahun 2001, jumlahnya mencapai 23.500
orang.
Menurut
sensus terakhir tahun 2006, umat Islam mencapai 36.000 orang atau
hampir satu persen dari populasi. Bahkan, para tokoh muslim
memperkirakan jumlahnya di atas jumlah sensus, yaitu 40.000 hingga
45.000. Mayoritas muslim, antara 25.000 hingga 30.000, tinggal di daerah
Auckland, sebagian besar sisanya tinggal di Wellington. Komunitas
muslim yang lebih kecil berada di kota Hamilton, Christchurch, dan Dunedin.
Komunitas
muslim sebagian besar berasal dari Asia Selatan (India, Pakistan,
Bangladesh, dan Fiji), dengan orang-orang Fiji yang paling menonjol.
Namun kini mencakup setidaknya 35 bahkan mungkin 40 bangsa.
Gelombang
imigrasi yang lebih baru termasuk orang-orang Arab dari Timur Tengah
dan Maghreb (Afrika Utara), Malaysia, Indonesia, Iran, Afghanistan,
Somalia dan Afrika sub-Sahara, serta orang-orang dari Balkan yang
melarikan diri dari kekacauan politik baru-baru ini. Ada juga beberapa
mualaf yang jumlah pastinya masih spekulasi.
|
Sebelum lanjut, saya cerita sebentar pengalaman menulis artikel ini. Tulisan ini sudah tertunda beberapa minggu. Kenapa gitu? Selain belum ada ide yang berkelebat di kepala, seminggu lalu saya pulang kampung. Ah, namanya juga di kampung halaman, ya tentu banyak godaan yang bikin nggak fokus kerja. Biasalah, kumpul sama keluarga adalah prioritas utama setiap pulang kampuang (hashtag: edisi anak rantauan). Setelah abis masa liburan, saya buka laptop dan nemu artikel tentang contoh paragraf Simple Past Tense ini masih ajah nongkrong di folder draft. Mau nggak mau, akhirnya keluarin jurus pemungkas deh. Apa itu? ”Force yourself!” Yap, memaksa diri biar ngeluarin semua ide. Apapun yang terjadi, harus tetap memaksa diri untuk tetap berkarya bahkan kalau sampai Zombie Apocalypse (koq jadi nyambung ke Walking Dead sih). Intinya, pekerjaan nggak bakal selesai kalau cuma diliatin doang. Untuk itu saya mau lanjut bikin contoh paragraf Simple Past Tense. Ingat ya, i...
Comments
Post a Comment