Skip to main content

Taktik Fox Kuasai Indonesia

Taktik Fox Kuasai Indonesia

Untuk kepentingan Republik, pemerintah memberikan monopoli dagang kepada seorang taipan film Amerika.


Taktik Fox Kuasai Indonesia


PADA 1947, Perdana Menteri Sjahrir meminta Sumitro Djojohadikusumo berangkat ke Amerika Serikat untuk menyiapkan jalan agar sengketa Indonesia-Belanda masuk dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Sumitro tak punya paspor, apalagi uang. Dia menembus blokade Belanda menuju Singapura dan meyakinkan Konsulat AS di sana untuk memberikan visa. Dia juga mengatur penyelundupan kapuk dan kina untuk membiayai perjalanannya.
Satu kapal Amerika yang berusaha mematahkan blokade disita Belanda. Satu kapal lainnya berhasil membawa muatan ke New York tapi para bankir tak mau membayar $80.000 atas pengiriman barang-barang itu. Padahal, setiba di New York, Sumitro tak punya kontak dan uang tunai –hanya $20 di kantong.
Sumitro pun melibatkan firma hukum Delson, Levin, and Gordon di New York tanpa bayaran, yang kemudian menyerahkannya pada pengacara-pelobi Washington, Joseph Borkin –juga karena tertarik pada perkara itu dan tanpa kompensasi. Borkin lalu menghubungi Matthew Fox, taipan film Amerika yang jadi wakil direktur Universal Pictures.
Sumitro dan Fox akhirnya bertemu dan tampaknya cocok, terlebih ketika Sumitro bilang ingin menjalin hubungan ekonomi. Sumitro terkesan dengan Fox, dan sebagaimana dikutip Theodore Friend, Indonesian Destinies, menyebut, “Dia jenius… dia memiliki ketertarikan politik. Dia melihat potensi komersial. Dia bilang, ‘Lihat, sobat, kita butuh sebuah jalan untuk mengontak para pemodal besar. Ini akan seperti monopoli saya. Tapi saya takkan membuat Anda bertanggungjawab atas kontrak itu.”

Fox memberikan deposito kredit sebesar $80.000 atas jaminannya. Atas bantuan Fox pula, perwakilan Indonesia mendapat kantor di 40 Wall Street, New York, tepat di jantung distrik bisnis. Dan yang terpenting, keduanya menandatangani sebuah kontrak –lebih dikenal dengan istilah Fox-contract– pada 3 Januari 1948. Isi perjanjian menyebutkan pembentukan American-Indonesian Corporation (AIC), dengan kantor pusat di New York, yang akan melakukan penjualan komoditas Republik di Amerika dan sebaliknya pembelian berbagai barang konsumsi di Amerika untuk Republik.
“Fox terlibat dalam pertaruhan besar, yang tak seorang pun mau mengambilnya,” ujar Sumitro.
Menurut Sumitro, perjanjian bisnis tersebut tak hanya bakal menguntungkan Fox dan mitra-mitranya tapi juga Republik, karena bakal mengisi kocek pemerintah di Yogyakarta dengan aset valuta asing berharga berupa dolar Amerika. Selain itu, akan memperlemah kedudukan ekonomi Belanda, dan otomatis politik, di Indonesia. Sumitro menaksir harga barang-barang yang diimpor dan diekspor antara kedua negeri itu akan mencapai 200 juta dolar setahun. Kontrak itu telah diratifisir oleh Badan Pekerja KNIP.
“Kami membutuhkan modal dan keahlian AS… kami suka Matty,” ujar Soemitro seperti dikutip Time, 19 Juli 1948. Matty atau Mattie adalah nama kecil Matthew Fox.
Pemerintah Belanda bukannya tak tahu adanya kontrak tersebut namun memutuskan untuk tak mengungkapkan kepada publik. Duta Besar Belanda di Washington, E. van Kleffens, khawatir pengungkapan hanya akan dieksploitasi Uni Soviet, yang dengan cepat mencap kontrak itu sebagai plot kapitalis Amerika untuk mengontrol dan merusak perekonomian Indonesia. Ketika isu ini mengemuka, van Kleffens akhirnya bertemu dengan Fox pada 14 Juni 1948. Fox juga bersedia pergi ke Den Haag untuk bernegosiasi dengan para pejabat di sana –pertemuan yang tak pernah terjadi.

Pemerintah Belanda jelas kebakaran jenggot dengan kontrak itu. Mereka menganggap kontrak itu bukan kontrak dagang biasa melainkan ekspansi perdagangan dengan hak-hak monopoli. Opini publik di Belanda umumnya menyimpulkan bahwa Washington dan Wall Street merestui AIC. “Tujuan utama Amerika, mereka berpendapat, adalah mendorong kepentingan ekonomi Belanda keluar dari Indonesia lalu diganti oleh Wall Street,” tulis tulis Gerlof D. Roman dalam “American Business Interests In The Indonesian Republic, 1946-1949”.
Komentar Van Mook lebih keras lagi. “Kontrak ini merupakan bukti jelas bagaimana orang-orang luar negeri yang tidak berperikemanusiaan itu menyalahgunakan kedudukan Republik yang lemah dan terpojok akibat kurang dana, pengetahuan ekonomi, dan pengalaman, untuk merampok negeri ini,” ujar van Mook sebagaimana dikutip K.M.L. Tobing dalam Perjuangan Politik Bangsa Indonesia: Renville. “Di atas segalanya, Republik masih harus mengorbankan kedaulatannya dengan menaklukan diri pada yuridiksi hakim-hakim dan komisi arbitrasi Amerika.”
Sejatinya, Departemen Luar Negeri AS terganggu dengan kontrak Fox dan mencoba mencegahnya. Mereka mengundang Fox dan mengatakan bahwa dia merusakan kebijakan luar negeri Amerika. Perdagangan Amerika-Republik itu akan mengurangi kedaulatan Belanda dan mengganggu negosiasi yang lagi berjalan antara Belanda dan Yogyakarta. Selain itu, mereka menekankan karakter monopolistik dalam kontrak itu. Disebutkan pula bahwa seluruh perdagangan ke dan dari Indonesia harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan Belanda. Mereka pun menarik paspornya sehingga Fox tak bisa melakukan perjalanan yang sudah dia rencanakan ke Indonesia.

Fox bergeming dan tak menunjukkan keinginan untuk membatalkan kontrak. Dia mengatakan tak akan meninggalkan kawan-kawannya di Republik. Bahkan, setelah kegagalan perjalanan bisnis ke Indonesia sebagai perwakilan Meyer and Brown, sebuah perusahaan Amerika di mana Fox punya pengaruh cukup besar, untuk membeli komoditas untuk US Army-Navy Munitions Board, dia tetap optimis.
Departemen Luar Negeri memberitahu Republik mengenai sikap Washington. Mereka juga bertemu dengan Sumitro dan mengatakan bahwa kontrak itu melanggar Piagam Perjanjian Perdagangan Internasional dan Perjanjian Renville. Sumitro membela kontrak itu dengan mengatakan bahwa pemerintahnya tak percaya pada Belanda.
Para pejabat Republik membantah indikasi monopoli dalam kontrak itu. Mereka bilang kontrak serupa bisa dilakukan dengan pedagang Belanda atau swasta lainnya. Bagaimana jika Belanda keberatan? “Kita tak tergantung kepada sikap Belanda. Republik sekarang dalam konflik dengan Belanda. Perdagangan pun harus dilakukan dalam suasana konflik pula,” ujar A.K. Gani, sebagaimana dikutip Kronik Revolusi Indonesia, volume 4, karya Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil.

Fox sendiri ingin menghilangkan kecurigaan bahwa dia hanya ingin meraih keuntungan melalui monopoli. Kontrak ini, kata Fox seperti dikutip Time, 19 Juli 1948, hanya mempengaruhi sekira 25 persen dari total perdagangan Republik ($450 juta pada 1940) dan pihak swasta di Indonesia bebas berhubungan dengan siapa pun yang mereka inginkan. Dia juga mempersilakan kompetitor lain, terutama dari AS.
Sejumlah kontrak terkait dengan Fox juga dilakukan pemerintah daerah. Pada Agustus 1948, seperti ditulis Mestika Zed dalam Kepialangan, Politik dan Revolusi, Gubernur Isa menandatangani kontrak dagang dengan Fox untuk mengapalkan lada dari Lampung.
Meski Fox bertahan menghadapi rintangan, blokade Belanda dan ketidaksetujuan Departemen Luar Negeri AS membuat langkah AIC tersendat, bahkan menunjukkan tanda-tanda takkan terlaksana. Setelah agresi militer II pada Desember 1948, Fox memiliki sedikit kans untuk memetik untung. “Dia juga tak mampu menarik modal di luar Amerika. Modal apapun yang diinvestasikan dalam usaha itu harus diambil dari miliknya sendiri dan mungkin tak pernah kembali,” tulis Gerlof D. Roman.
Sulit menentukan berapa banyak Fox berinvestasi. Mungkin sekira $550.000 diberikan atau “dipinjamkan” kepada Republik, banyak yang digunakan untuk membiayai misi PBB Indonesia di New York. Selain itu, Fox menghabiskan sekira $215.000 untuk membentuk apa yang disebut dana propaganda dan mengeluarkan $140.000 untuk dua pesawat bekas C-54.

Pada awal 1949 Fox menyatakan keinginan untuk mundur dari AIC dan membatalkan kontrak. Pada Maret 1950, tak lama setelah Republik memperoleh pengakuan kedaulatan, pemerintah Indonesia membatalkan kontrak dan Fox menyatakan tidak menyesal sekalipun dia tak meraih keuntungan. Toh, dengan cara lebih halus dan tak langsung, Kontrak Fox membantu maksud Republik.
“Dengan kontrak Fox, Republik mencapai dua tujuan. Mempermalukan dan menakut-nakuti pemerintah Belanda, yang khawatir pengaruh seorang pengusaha terhormat seperti Fox yang mencoba dan berhasil menerobos blokade Belanda. Selain itu, Republik, sementara menghindari Washington, membentuk kontak berharga dengan dunia bisnis Amerika yang terhormat. Sehingga pengaruh Republik di dunia internasional meningkat,” tulis Gerlof D. Roman.
Dan toh orang Indonesia seperti Sumitro menyukainya, dan kemudian masih memberikan kesempatan bagi Fox untuk berbisnis di Indonesia.


Comments

Popular posts from this blog

Contoh Paragraf Simple Past Tense, Cerita Seru Masa Lalu

Sebelum lanjut, saya cerita sebentar pengalaman menulis artikel ini. Tulisan ini sudah tertunda beberapa minggu. Kenapa gitu? Selain belum ada ide yang berkelebat di kepala, seminggu lalu saya pulang kampung. Ah, namanya juga di kampung halaman, ya tentu banyak godaan yang bikin nggak fokus kerja. Biasalah, kumpul sama keluarga adalah prioritas utama setiap pulang kampuang (hashtag: edisi anak rantauan). Setelah abis masa liburan, saya buka laptop dan nemu artikel tentang contoh paragraf Simple Past Tense ini masih ajah nongkrong di folder draft. Mau nggak mau, akhirnya keluarin jurus pemungkas deh. Apa itu? ”Force yourself!” Yap, memaksa diri biar ngeluarin semua ide. Apapun yang terjadi, harus tetap memaksa diri untuk tetap berkarya bahkan kalau sampai  Zombie Apocalypse  (koq jadi nyambung ke  Walking Dead  sih). Intinya, pekerjaan nggak bakal selesai kalau cuma diliatin doang. Untuk itu saya mau lanjut bikin contoh paragraf Simple Past Tense. Ingat ya, ini hanya contoh cer

Antara Perempuan dan Politik

Antara Perempuan dan Politik Supeni menolak pemisahan perempuan dari partai politik. Kritiknya tak asal bunyi, ia jadi tokoh penting dalam PNI. Supeni kala menemani Sukarno menyambut Putri Michiko dari Jepang. Sumber: Supeni Wanita Utusan Negara. PROKLAMASI mengubah konfigurasi politik. Ketiadaan musuh bersama membuat lelaki menjadi makin dominan dalam bidang politik sementara perempuan disingkirkan dan dianggap lebih layak bergerak di bidang sosial. Organisasi perempuan yang bercorak keagamaan, misalnya, kebanyakan berjalan dengan pembagian kerja model ini. Kecenderungan seperti itu dikritik para aktivis perempuan, salah satunya Supeni. Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menyebut Supeni menolak keras pemisahan perempuan dan partai politik. Menurutnya, perempuan harusnya dianggap setara dan disamakan statusnya dengan lelaki untuk ikut andil dalam urusan-urusan politik. Pendapat