Skip to main content

Berita Berujung Pidana

Berita Berujung Pidana

Kisah beberapa media yang harus berhadapan dengan hukum karena dianggap mencemarkan nama baik dan menghina.

Berita Berujung Pidana
Meme Tirto yang bermasalah.

Media daring Tirto.id bikin keramaian di lini masa. Dalam akun twitter-nya, media ini mengunggah kartun grafis yang bernada provokatif. Sebuah meme menampilkan komentar Kiai Haji Ma’ruf Amin yang dipenggal: “....Zina bisa dilegalisir....” Satu meme lagi juga mengutip pernyataan Sandiaga Uno yang diplesetkan: “Kami akan hapuskan UN” yang kemudian ditanggapi oleh Pak Tirto (maskot Tirto.id): “Eh..? Kirain apus NU…” Sebagaimana umum diketahui NU adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.  
Dua meme tersebut diolah menanggapi debat calon wakil presiden yang dihelat baru-baru ini. Bermaksud jenaka namun kartun grafis tersebut malah dianggap  menyudutkan. Alih-alih menjadi hiburan, kecaman justru berdatangan dari warganet. Pengurus Besar (PB) NU dalam akun twitter-nya telah menyatakan protes atas meme tersebut. Berbagai tanda pagar bermunculan sebagai tanda tidak simpatik seperti: #TirtoButuhDuit, #TirtoPabrikHoax, #TirtoIDMediaSampah.
Redaksi Tirto.id sendiri dalam laman beritanya mengakui telah melakukan kesalahan fatal dengan secara gegabah memotong kalimat-kalimat Ma’ruf Amin dan Sandi. Dituding menyebarkan hoax, meme ditarik dari peredaran namun kadung viral. Permintaan maaf pun dilayangkan.
Di masa lalu, kelalaian serupa pernah terjadi. Harian Rakyat Merdeka dan Tabloid Warta Republik harus berurusan dengan hukum karena konten beritanya. Masalah yang dihadapi tergolong serius dan berbuntut jerat pasal pidana.
Foto Berujung Petaka
Dalam edisinya 8 Januari 2002, harian Rakyat Merdeka menampilkan foto parodi Akbar Tanjung yang bertelanjang dada, badan berpasir, dan penuh keringat. Foto yang berwajah Akbar Tanjung dan bertubuh orang lain itu menjadi ilustrasi berita berjudul “Akbar Sengaja dihabisi, Golkar Nangis Darah”. Akbar menjabat sebagai ketua umum Golkar dan ketua DPR saat itu.  
Akbar merasa terhina menanggapi foto yang dianggapnya rekayasa tersebut. Menurut Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka, Karim Paputungan dilansir hukumonline.com 17 April 2003, pemuatan foto itu hanyalah visualisasi dari bentuk simpati dan empati atas situasi berat yang dialami Akbar Tanjung. Kala itu, Akbar sedang didera isu korupsi yang membuatnya menjadi tersangka.
Rasa malu terlanjur menciprat ke wajah, Akbar pun melaporkannya ke pihak berwajib. Dalil pengaduannya pencemaran nama baik. Pada 9 September 2003, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Karim Paputungan hukuman penjara lima bulan dengan masa percobaan sepuluh bulan. Karim dianggap bersalah melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP, yang berbunyi, “Dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum, atau ditempelkan.” 

Namun, putusan itu tak serta-merta menjebloskan Karim ke jeruji besi. Tetapi apabila dalam kurun waktu sepuluh bulan Karim mengulangi perbuatannya, maka hukuman tersebut harus dijalani.
Kasus  Rakyat Merdeka menurut pakar komunikasi politik Mahi M. Hikmat dalam Jurnalistik: Literary Journalism Salah satu contoh yang berkaitan dengan penghinaan atau delik pers yang menyerang pribadi.
Sementara itu, menurut jurnalis Pantau, M. Said Budairy, tuntutan hukum yang mendera Rakyat Merdeka karena mengabaikan banyak rambu-rambu yang seharusnya tidak boleh terlanggar. Karim Sendiri pada 2011, menerangkan kasus ini dalam bukunya yang berjudul Bila Parodi Diadili: Pengalaman Lempang Seorang Pemimpin Redaksi di Era Reformasi: Kasus Rakyat Merdeka vs Akbar Tandjung.
Kisah Cinta Sensasional
Mundur lagi ke belakang, tabloid dwi mingguan Warta Republik pernah memberitakan kisah cinta segi tiga yang melibatkan dua jenderal terkemuka. Mereka adalah mantan wakil presiden, Jenderal (Purn) Try Sutrisno dan mantan menteri pertahanan, Jenderal (Purn) Edi Sudrajat.
Pada edisi No.01/I/Minggu III November 1998, tabloid ini memuat tajuk “Cinta Segitiga Dua Orang Jenderal” pada sampul depannya. Sementara di halaman dalam, terdapat artikel berjudul “Try Sutrisno dan Edi Sudrajat Berebut Janda”. Berita yang tentu saja menggegerkan itu ditulis wartawan Warta Republik, Hoessein Madilis.
Artikel Warta Republik menguraikan kesaksian seorang wanita janda bernama Nani. Dari Nani, diperoleh cerita bahwa terjadi persaingan antara Try dan Edi untuk mendapatkan cinta Nani. Karena mendengar sendiri penuturan Nani, maka berita itu oleh Hossein dianggap akurat.
“Demi kemanusiaan dan membela orang tertindas, maka berita itu dimuat,” kata Masiga Bugis, pengacara Hossein dikutip R.H. Siregar dalam Setengah Abad Pergulatan Etika Pers.

Berita itu sampai kepada Try Sutrisno. Tanpa tedeng aling-aling, Try melaporkan Warta Republik ke Polda Metro Jaya dengan aduan penyebaran fitnah. Dalam penyidikan, Hossein mengakui reportasenya dilakukan tanpa melalui konfirmasi kepada Try Sutrisno alias hanya satu sisi. Tidak mudah baginya untuk menghubungi dan mewawancarai tokoh sekelas Try. Pada 25 Agustus 1999, pengadilan mendakwa Hossein bersalah dan menjatuhinya hukuman percobaan.
“Dalam kasus ini, wartawan tabloid Warta Republik memenuhi unsur sengaja melakukan penghinaan, menuduh tanpa bukti, dan telah mencemarkan nama baik,” tulis Mahi M. Hikmat.
Pengalaman media-media ini seyogianya menjadi pelajaran bagi siapapun. Nalar kritis dan kebebasan pendapat sejatinya harus beriringan dengan etika. Karena kalau tidak, bisa saja nanti berhadapan dengan hukum pidana.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Paragraf Simple Past Tense, Cerita Seru Masa Lalu

Sebelum lanjut, saya cerita sebentar pengalaman menulis artikel ini. Tulisan ini sudah tertunda beberapa minggu. Kenapa gitu? Selain belum ada ide yang berkelebat di kepala, seminggu lalu saya pulang kampung. Ah, namanya juga di kampung halaman, ya tentu banyak godaan yang bikin nggak fokus kerja. Biasalah, kumpul sama keluarga adalah prioritas utama setiap pulang kampuang (hashtag: edisi anak rantauan). Setelah abis masa liburan, saya buka laptop dan nemu artikel tentang contoh paragraf Simple Past Tense ini masih ajah nongkrong di folder draft. Mau nggak mau, akhirnya keluarin jurus pemungkas deh. Apa itu? ”Force yourself!” Yap, memaksa diri biar ngeluarin semua ide. Apapun yang terjadi, harus tetap memaksa diri untuk tetap berkarya bahkan kalau sampai  Zombie Apocalypse  (koq jadi nyambung ke  Walking Dead  sih). Intinya, pekerjaan nggak bakal selesai kalau cuma diliatin doang. Untuk itu saya mau lanjut bikin contoh paragraf Simple Past Tense. Ingat ya, ini hanya contoh cer

Taktik Fox Kuasai Indonesia

Taktik Fox Kuasai Indonesia Untuk kepentingan Republik, pemerintah memberikan monopoli dagang kepada seorang taipan film Amerika. PADA 1947, Perdana Menteri Sjahrir meminta Sumitro Djojohadikusumo berangkat ke Amerika Serikat untuk menyiapkan jalan agar sengketa Indonesia-Belanda masuk dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Sumitro tak punya paspor, apalagi uang. Dia menembus blokade Belanda menuju Singapura dan meyakinkan Konsulat AS di sana untuk memberikan visa. Dia juga mengatur penyelundupan kapuk dan kina untuk membiayai perjalanannya. Satu kapal Amerika yang berusaha mematahkan blokade disita Belanda. Satu kapal lainnya berhasil membawa muatan ke New York tapi para bankir tak mau membayar $80.000 atas pengiriman barang-barang itu. Padahal, setiba di New York, Sumitro tak punya kontak dan uang tunai –hanya $20 di kantong. Sumitro pun melibatkan firma hukum

Antara Perempuan dan Politik

Antara Perempuan dan Politik Supeni menolak pemisahan perempuan dari partai politik. Kritiknya tak asal bunyi, ia jadi tokoh penting dalam PNI. Supeni kala menemani Sukarno menyambut Putri Michiko dari Jepang. Sumber: Supeni Wanita Utusan Negara. PROKLAMASI mengubah konfigurasi politik. Ketiadaan musuh bersama membuat lelaki menjadi makin dominan dalam bidang politik sementara perempuan disingkirkan dan dianggap lebih layak bergerak di bidang sosial. Organisasi perempuan yang bercorak keagamaan, misalnya, kebanyakan berjalan dengan pembagian kerja model ini. Kecenderungan seperti itu dikritik para aktivis perempuan, salah satunya Supeni. Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menyebut Supeni menolak keras pemisahan perempuan dan partai politik. Menurutnya, perempuan harusnya dianggap setara dan disamakan statusnya dengan lelaki untuk ikut andil dalam urusan-urusan politik. Pendapat